Posted by: effanzulfiqar | March 28, 2022

Ketika BPJS Menjadi “Kartu Sakti”

Di tengah masih ramainya polemik soal pemindahan Ibu Kota Negara, ancaman virus omricon, kelangkaan minyak goreng, kenaikan harga kedelai dan bahan pokok yang mulai merangkak naik. Tiba-tiba mucul Inpres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Yang isi Inpresnya juga bisa jadi akan menimbulkan  polemik yang berkepanjangan.

Dalam instruksi ini, Presiden Joko Widodo memerintahkan 30 menteri dan pimpinan lembaga negara untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk melakukan optimalisasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kepala daerah diperintahkan juga agar mengambil kebijakan yamg singkron dengan isi Inpres.

Adapun beberapa pasal di Inpres tersebut menyebut bahwa setiap jual beli tanah diharuskan melampirkan BPJS Kesehatan. Termasuk mereka yang akan melaksanakan jemaah haji dan umrah diharuskan menjadi peserta aktif BPJS Kesehatan.  Demikian juga dalam pelayanan permohonan SIM, STNK, dan SKCK juga disyaratkan melampirkan kartu BPJS Kesehatan aktif.

Bahkan calon penerima Kredit Usaha Rakyat, masyarakat yang akan mengurus izin usaha dan pelayanan kekayaan intelektual dan keimigrasian semuanya disyaratkan harus peserta aktif BPJS kesehatan. Nantinya kewajiban menjadi peserta BPJS Kesehatan akan diterapkan bagi peserta didik, pendidik dan tenaga pendidik disemua sekolah  di bawah Kementerian Agam dan Kementerian Pendidikan.

Singkat kata semua yang terkait dengan pelayanan publik untuk mendapatkan layanan semuanya disyaratkan harus peserta aktif BPJS Kesehatan. Tanpa menjadi perserta aktif jangan pernah berharap akan mendapatkan layanan publik. Artinya BPJS Kesehatan telah berubah menjadi kartu sakti untuk memperoleh layanan publik di semua instansi pemerintah. Tinggal menunggu waktu saja.

Seharusnya pemerintah bisa lebih bijak sebelum menerapkan aturan tersebut dengan terlebih dahulu memperbaiki sistem pengelolaan BPJS Kesehatan agar lebih baik lagi. Sebagaimana diketahui masih banyak masalah di lapangan yang terjadi terutama untuk pelayanan kelas III. Semua orang tahu seperti apa kualitas pelayanan yang diterima peserta kelas III dibandingan dengan  kelas I dan II. Ada kesenjangan yang tajam.

Namun secara umum bagi masyarakat peserta BPJS Kesehatan apakah itu kelompok kelas I, II dan III, sampai hari ini masih merasakan predikat sebagai “anak tiri” dalam pelayanan  dibandingkan dengan pasien umum. Maka ada sebagian peserta yang beralih menjadi pasien umum dengan tidak menggunakan BPJS Kesehatan karena merasa tidak sesuai pelayanan yang diterima. Bagi mereka yang secara ekonomi punya kemampuan tidak masalah tapi bagi yang tidak punya  jelas tidak akan bisa beralih ke umum. 

Soal lainnnya adalah harus adanya rujukan, padahal pasien memerlukan pertolongan cepat dan akhirnya pasien terlambat mendapat pertolongan. Belum lagi soal obat-obatan yang tidak dicover. Adanya antrian panjang, kamar rawat yang tidak tersedia  dan pelayanan dokter yang tak makasimal. Standar pelayanan yang tidak seragam di Puskesmas dan RS. Mengingat fasilitas kesehatan, baik alat kesehatan dan sumber daya manusia sampai saat ini belum merata. Bahkan di satu provinsi/kabupaten/kota masih terjadi kesejangan.

Sistem kelas dalam pelayanan sesungguhnya menjadi masalah yang menyebabkan terjadinya diskriminasi yang sangat kentara bagi peserta BPJS Kesehatan kelas III. Dan ini bukan cerita baru tapi sudah terjadi begitu lama tanpa penyelesaian yang tuntas. Sementara penerapan kelas standar dalam program BPJS yang menghapuskan kelas-kelas dalam pelayanan belum terlaksana sebagaimana mestinya.

Penerapan kelas standar dalam program BPJS Kesehatan ini nantinya akan mewujudkan akses dan mutu sesuai standar pelayanan, menyediakan kebutuhan standar minimal sarana prasarana, dan alat kesehatan, serta menyediakan sumber daya manusia yang sesuai dengan rasio pasien. Seharusnya ini dulu yang difokuskan bagaimana penerapannya sebelum mengeluarkan Inpres yang terkesan memaksa secara halus.

Dengan adanya penghapusan kelas-kelas menjadi kelas standar diharapkan akan terjadi perubahan yang memudahkan bagi peserta untuk mengakses tempat tidur yang menjadi masalah selama ini. Sehingga tidak ada lagi diksriminasi sebagaimana yang kerap dialami peserta kelas III. Jadi tidak lagi pasien umum yang didahulukan ketimbang peserta BPJS Kesehatan. Yang dengan sendirinya prisip pertolongan pertama dan keadilan bagi peserta terpenuhi.

Hal lain, harusnya peserta “miskin” mandiri kelas III dipindahkan ke kelompok Penerima Bantuan Iuran yang mendapatkan subsidi pemerintah. Artinya Pemerintah mestinya bisa lebih peka dengan kondisi ekonomi yang dihadapi mayoritas peserta mandiri kelas III karena imbas pandemi Covid 19. Kondisi ini diperburuk lagi dengan ketidak stabilan harga-harga kebutuhan bahan pokok. Tentunya kelompok ini akan kesulitan membagi penghasilan membayar iuran peserta setiap bulannya.

Dengan adanya perbaikan terutama dalam kualitas layanan sudah bisa dipastikan masyarakat  dengan suka rela ikut mendaftar sebagai peserta. Tanpa harus dipaksa dengan mengharuskan semua pelayanan publik hanya dapat diperoleh setelah menjadi peserta BPJS Kesehatan. Sepenuhnya masyarakat akan berpartisipasi penuh jika merasa puas dengan layanan yang diterima dan mendapatkan manfaat nyata.

Terkait dengan pelayanan publik dalam pelayanan SIM dan STNK yang mensyaratkan harus peserta BPJS Kesehatan dipastikan akan menurunkan minat masyarakat untuk mengurusnya. Selama ini saja tidak ada ketentuan yang mensyaratkan hal tersebut,  pemilik kenderaan bermotor masih malas untuk mengurus SIM karena merasa terlalu ribet proses pengurusannya. Apalagi kini dibebani dengan keharusan adanya syarat tersebut.

Demikian juga dengan soal STNK bila terjadi penolakan atau penundaan karena pemilik kenderaan bermotor bukan peserta BPJS Kesehatan akan berimplikasi terhadap keterlambatan pembayaran pajak. Ketentuan ini mungkin bisa jadi membuat masyarakat tidak terlalu berminat lagi mengurus STNK kenderaan bermotornya sebagaimana dengan SIM. Imbasnya potensi penerimaan dari STNK dipastikan akan tergerus tajam.

Meskipun  UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang mengamanatkan bahwa setiap WNI wajib mengikuti program BPJS.  Tapi tidak seharusnya menutup peluang bagi masyarakat yang bukan peserta untuk mendapatkan pelayanan publik yang menjadi kewajiban Negara dan hak masyarakat untuk mengaksesnya.

Negara sepertinya abai terhadap tanggungjawabnya menyediakan pelayanan kesehatan dengan mengalihkan menjadi tanggungjawab bersama rakyat atas nama semangat gotong royong. Padahal salah satu fungsi Negara adalah melindungi segenap rakyat dan mengurus semua kepentingan rayatnya bukan seperti dalam sistem kapitalisme. Jadi sangat tidak elok bila masyarakat yang bukan peserta tidak diberi akses untuk mendapat pelayanan sosial.

Harus diingat pula masih ada sebagian masyarakat menganggap BPJS Kesehatanhukumnya haram, karena mempunyai potensi “gharar”. Di samping itu secara manusiawi orang  juga akan merasa rugi karena harus terus membayar iuran sampai mati, terlepas dari praktik nilai kegotong royongan. Tapi ia tidak pernah memamfaatkan uang yang dibayarkannya untuk berobat. Hal ini juga membuat sebagian masyarakat enggan menjadi peserta BPJS.

(Tulisan ini sudah dimua diharian WASPADA, Medan, Jumat 18 Maret 2021)


Leave a comment

Categories